Persepsi Dulu, Kenyataan Menyusul

Persepsi Dulu, Kenyataan Menyusul
“Merek mortar apa yang Anda ingat pertama kali?” Ketika pertanyaan ini dilontarkan dalam survei beberapa tahun yang lalu, ternyata sebagian menyebutkan merek “Tiga Roda”. Padahal, pada waktu itu Tiga Roda belum memproduksi mortar. Dan setelah akhirnya Tiga Roda benar-benar mengeluarkan produk di kategori mortar, top of mind awareness-nya melejit dan kini menjadi leader pada kategori ini.
Hal tersebut merupakan salah satu contoh dari banyak temuan yang diperoleh berdasar hasil survei Top Brand selama 14 tahun terakhir ini. Bahwa sebenarnya tidak semua merek yang disebutkan spontan oleh responden pada saat wawancara sesuai dengan kenyataan yang ada.
Sekilas saya ingatkan kembali bahwa survei Top Brand merupakan survei yang bertujuan mengevaluasi posisi merek murni dilihat dari perspektif konsumen. Pendapat konsumen diambil secara spontan tanpa ada tendensi untuk menunjukkan merek tertentu. Sehingga sering kali pendapat spontan dari responden ini bisa jadi tidak sesuai dengan kenyataan. Yang artinya, semisal di satu kategori produk yang dievaluasi, bisa jadi responden menyebutkan merek yang tidak seharusnya ada di kategori tersebut. Atau responden masih menyebutkan merek yang sudah tidak diproduksi, dan bahkan kemungkinan menyebutkan merek yang tidak ada di kategori produk yang dievaluasi.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mudah saja, karena apa yang terdapat dalam memori konsumen adalah sebuah persepsi, yang terbentuk karena informasi yang mereka peroleh mampu memengaruhi cara pandang mereka terhadap sebuah kategori produk. Konsumen mampu menyimpan berbagai informasi dalam jaringan memori yang meliputi verbal, visual, abstract, dan contextual. Dan tiap konsumen akan memproses informasi secara berbeda, yang bergantung pada profil demografi (usia, SES, gender, pendidikan, dan lain-lain), knowledge, serta experience terhadap suatu produk.
Dalam survei Top Brand ada beberapa temuan yang menunjukkan persepsi konsumen yang ter-recall secara spontan dari memori mereka, yang pada kenyataannya kita sebagai pemasar—yang mengerti benar mengenai produk dan merek—mungkin merasa bahwa ada suatu hal yang kurang tepat. Namun, saya mengajak kita untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda sebagai seorang researcher, dan kita dapat mengambil insight-nya, bagaimana persepsi tersebut dapat dimanfaatkan untuk sebuah strategi.
Melalui hasil survei Top Brand ini, kami telah mempelajari merek-merek yang sering kali disebutkan namun kurang sesuai dengan kenyataannya, dan kami kelompokkan menjadi beberapa hal berikut ini:
Yang pertama, merek tersebut kuat diasosiasikan dengan industri tertentu, sehingga meski tidak ada produk di kategori produk tersebut, awareness-nya cukup tinggi. Hal ini banyak terjadi di kategori produk elektronik yang sebagian besar menggunakan corporate brand untuk produk-produknya.
Merek Sanyo merupakan merek kuat di kategori water pump, namun juga banyak disebutkan di water heater meski tidak ada produknya. Contoh lain adalah merek Sony di produk GPS mobil—padahal tidak ada. Merek Rinnai dipersepsi memiliki produk regulator tabung gas, padahal Rinnai hanya memiliki produk kompor gas.
Di kategori lain yang banyak terjadi hal seperti ini adalah personal care, seperti Pond’s yang dipersepsi memiliki semua produk skin care, padahal belum tentu ada produknya—semisal produk obat jerawat. Mustika Ratu untuk produk perawatan rambut, sering kali disebutkan juga memiliki produk hair tonic—padahal tidak ada.
Di kategori makanan, merek ABC sebagai merek ikan sarden kaleng pun mampu mengintervensi memori konsumen di kategori lain, sehingga merek ini juga muncul tinggi di kategori kornet kaleng meskipun tidak ada produknya. Seperti halnya Tango sebagai merek wafer, dipersepsi memiliki produk wafer di semua jenis yaitu wafer stick, wafer roll, dan lain-lain. Namun, belum tentu Tango punya produk di semua jenis wafer.
Yang kedua, persepsi konsumen mengenai merek bisa saja tidak sesuai dengan kenyataan ketika konsumen belum banyak tahu mengenai kategori produk tertentu atau pengetahuan konsumen tentang kategori tersebut terbatas.
Biasanya ini terjadi ketika ada ekstensi kategori produk dengan inovasi baru. Misalnya ketika disebutkan keramik lantai granit (granite tile), masih banyak disebutkan merek KIA dan Mulia, dua pemain besar di keramik lantai yang belum memproduksi granite tile. Hal ini menandakan bahwa pengetahuan konsumen mengenai granite tile masih belum baik, mereka belum mampu membedakan granite tile dan keramik lantai. Contoh lainnya adalah di kategori smartphone, yang masih banyak juga disebutkan merek-merek non-smartphone.
Di kategori yoghurt dan susu fermentasi bermerek pun masih terjadi overlapping merek karena konsumen menganggap dua kategori ini sama. Mizone dan Pocari Sweat yang merupakan minuman isotonik juga disebutkan di kategori air minum beroksigen, padahal dua kategori ini sungguh berbeda. Contoh lain yang hampir mirip adalah kategori crackers dan biscuit; merek yang disebutkan hampir sama untuk kedua produk ini. Kategori vitamin peninggi badan untuk remaja yang masih mix-up dengan susu pertumbuhan, dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Yang ketiga, ketika jenis produk dan merek dianggap sama. Seperti misalnya di kategori alat tes kehamilan, masih banyak yang menyebutkan test pack. Di sabun pembersih daerah kewanitaan disebutkan merek sabun sirih. Beras bermerek disebutkan rojolele, beras Cianjur, dan pandan wangi. Di kategori pipa (plumbing) disebutkan PVC yang bukan merupakan merek namun jenis.
Dari temuan-temuan tersebut, terdapat insights yang dapat dijadikan sebuah masukan strategi bagi para pemasar yang ada di kategori tersebut:
1. Semakin besar gap antara persepsi konsumen dan kenyataan yang ada, maka pengetahuan konsumen mengenai kategori produk masih kurang. Untuk itu perlu dilakukan edukasi kepada konsumen mengenai kategori produk.
2. Sejalan dengan poin di atas, jika konsumen masih mix-up dengan sebuah kategori atau bahkan belum ada merek kuat yang dikenal di kategori itu, ada peluang besar untuk mengasosiasikan sebuah merek dengan kategori produk tersebut.
3. Dan ketika sebuah merek dipersepsikan ada di jenis kategori produk lain, hal ini berarti peluang sebuah merek untuk masuk ke kategori tersebut akan lebih mudah. Misalkan saja Faber-Castell dipersepsi untuk merek buku, padahal hanya memiliki produk alat tulis pensil, ballpoint, crayon, dan lain-lain. Peluang Faber-Castell untuk meraih awareness di buku misalkan, akan lebih besar dibandingkan merek baru yang masuk kategori ini.
Terakhir secara keseluruhan, hasil seperti ini menunjukkan bahwa informasi yang diterima oleh konsumen kita mengenai kategori dan jenis produk sangatlah crowded di pasar. Dan memori mereka dapat menghasilkan efek interferensi, karena banyaknya distraksi komunikasi dari berbagai merek dari berbagai industri, sehingga terjadi efek confusing terhadap produk dan menimbulkan mix-up terhadap merek. Tantangan ini yang selalu dihadapi oleh pemasar dari masa ke masa. Kuncinya sudah jelas; pahami target konsumen Anda, bagaimana perilaku mereka, sehingga Anda dapat menentukan strategi komunikasi yang tepat, efektif, dan efisien di tengah kompetisi.
sumber : marketing.co.id

Komentar