Pahala Mengajarkan Prioritas Amal



Sebagian ulama dan ahli ibadah punya keyakinan bahwa jika seseorang beribadah dan mengharap balasan akhirat, maka ia kurang ikhlas. Jadi menurut asumsi ini seolah-olah orang yang beramal karena ingin mendapatkan pahala, mengharap balasan di sisi Allah, ingin mengharap surga atau takut pada siksa neraka, adalah orang yang kurang atau tidak ikhlas. Yang benar hanyalah berharap semata-mata mendapatkan ridha Allah, bukan yang lain. Namun apakah pandangan ini benar?
Dalam al-Qur’an, Allah menjelaskan tentang keharusan mencari ridha Allah. Allah berfirman; “Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya untuk meraih ridha Allah swt. Dan adalah Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya”. (Al-Baqarah: 207)
Berdasarkan sebab nuzul yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, ayat ini memberi gambaran konkrit tentang seseorang yang rela mengorbankan segala yang dimilikinya semata-mata untuk meraih ridha Allah dalam seluruh totalitas kehidupannya. Karena ia yakin, ridha Allah merupakan target puncak dari sebuah proses panjang keimanan yang merupakan implementasi nyata dari kesempurnaan takwa sebuah terminologi agung yang dikemukakan oleh Mufassir Abu Su’ud ketika memahami perilaku sahabat Rasulullah yang menjadi sebab turunnya ayat ini.
Adalah seorang sahabat Shuhaib bin Sinan Ar-Rumi yang rela mengorbankan seluruh harta yang dimilikinya karena tekanan kaum Quraisy ketika ingin berhijrah ke Madinah. Shuhaib dihalangi oleh para pemuka Quraisy dari berhijrah. Setelah negosiasi panjang barulah kaum Kafir Quraisy mengizinkannya dengan syarat menyerahkan seluruh hartanya kepada mereka tanpa tersisa sedikit pun. Dengan tanpa ragu-ragu, ia meninggalkan hartanya di Mekah semata-mata mengharapkan ridha Allah. Setelah sampai di Madinah dan bertemu dengan Rasulullah, beliau memujinya dengan ungkapannya yang masyhur : رَبح صهيبُ، ربح صهيب (sungguh telah beruntung Shuhaib). dalam riwayat lain: ربح البيع، ربح البيع (sungguh telah beruntung perniagaannya).
Tetapi apakah sebab nuzul ayat ini melarang mukmin untuk berharap pahala dan surga dari Allah? Dalam Surah Al-Insan disebutkan ayat yang semisal dengan ayat tersebut.
“Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki Balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al-Insan :9)
Dalam ayat tersebut, Allah menuntun mukmin agar memberi hanya dengan berharap ridha Allah dan tidak berharap sama sekali dari balasan makhluk. Tetapi dalam ayat berikutnya dijelaskan bahwa takut terhadap neraka dan azab dan berharap pahala dan balasan surga dengan berbagai kenikmatannya juga termasuk dalam maksud yang diridhai oleh Allah.
“Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan Kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. dan Dia memberi Balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera, di dalamnya mereka duduk bertelakan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang bersangatan.” (Al-Insan: 10-13)
Menurut ayat ini,tidak ada salahnya disamping berharap ridha Allah, juga berharap pahala dan surga, karena pahala dan surga itu juga bagian yang diridhai oleh Allah.
Setelah menyebutkan berbagai kenikmatan di surga dalam surat Al Muthaffifin, Allah Ta'ala pun memerintah untuk berlomba-lomba meraihnya, “Dan untuk yang demikian itu (kenikmatan surga)hendaknya orang berlomba-lomba. ” (QS. Al Muthaffifin: 26) Dalam ayat lain Allah Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya.” (QS. Al Kahfi: 107-108)
Asiyah, -istri Fir'aun- salah seorang penghulu wanita terbaik di surga juga meminta Istana di surga. Allah Ta'ala berfirman, “Dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim. ” (QS. At Tahrim: 11).
Nabi Ibrahim 'alaihis salam pun meminta Surga, sebagaimana do'a Nabi Ibrahim -kekasih Allah-:
“Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan.” (QS. Asy Syu'ara: 85-87)
Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Meminta surga dan berlindung dari siksa neraka adalah jalan hidup para Nabi Allah, utusan Allah, seluruh wali Allah, ahli surga yang terdepan (as sabiqun al muqorrobun) dan ahli surga pertengahan (ash-habul yamin).”

Prioritas Amal dan Berlomba dalam Kebaikan
Tingkatan surga dan pahala yang bertingkat-tingkat menuntut setiap mukmin agar berlomba dalam kebaikan dan memprioritaskan amal yang paling diridhai Allah dan menjanjikan pahala dan surga yang paling tinggi. Allah Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami. ” (QS. Al Anbiya': 90)
Mukmin yang cerdas memprioritaskan  perbuatan  yang  banyak mendatangkan manfaat kepada orang lain. Sebesar  manfaat yang dirasakan  oleh  orang  lain,  sebesar  itu pula keutamaan dan pahalanya di sisi Allah SWT. Oleh sebab itu,  jenis  perbuatan jihad  adalah lebih afdhal dan mulia daripada ibadah haji, karena manfaat ibadah haji hanya dirasakan pelakunya, sedangkan manfaat jihad dirasakan  oleh  umat.  Sehubungan  dengan  hal ini, Allah SWT berfirman yang artinya;  "Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus masjid al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah, dan Allah tidak memberikan petunjuk; kepada kaum yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan." (at-Taubah: 19-20)
Ilmu  pengetahuan adalah  lebih  utama  daripada ibadah, karena manfaat ibadah hanya  kembali  kepada  pelakunya   sedangkan   manfaat   ilmu pengetahuan  adalah  untuk  manusia yang lebih luas. Di antara hadits yang menunjukkan demikian adalah:
 "Keutamaan ilmu pengetahuan itu ialah lebih aku cintai daripada keutamaan ibadah, dan agamamu yang paling baik adalah sifat wara'." (al-Bazzar, Thabrani di dalam al-Awsath, dan al-Hakim dari Hudzaifah,). Dalam hadits lain disebutkan; "Kelebihan orang yang berilmu atas orang yang beribadah ialah bagaikan kelebihan bulan purnama atas seluruh bintang gemintang." (Abu Nu'aim dalam al-Hilyah dari Mu'adz (Shahih al-Jami' as-shaghir, (4212).
Dalam ilmu juga ada prioritas yang sebaiknya diajarkan terlebih dahulu, yaitu ilmu tentang Allah dan al-Qur’an. Dalam hadits Shahih disebutkan, "Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang belajar al-Qur'an dan mau mengajarkannya." (Diriwayatkan oleh Bukhari dari 'Utsman). Dalam beribadah pun ada ibadah wajib yang harus diprioritaskan atas ibadah sunnah. Dan ibadah sunnah pun terdapat beberapa prioritas pahala, seperti shalat tahajjud yang menjadi ada kedudukan terpuji dan pertolongan dari Allah serta masuk surga. (lihat al-Isra’ : 79-80) Shalat sunnah dua rakaat fajar sangat besar pahalanya yaitu lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya. (Hadist riwayat muslim(725))
Dengan demikian berharap pahala dan surga yang setinggi-tingginya tidak mengurangi keikhlasan dan tidak bertentang dengan harapan meraih ridha Allah. Ikhlas adalah beramal dengan mengharap segala apa yang ada di sisi Allah, yaitu mengharap surga dengan segala kenikmatannya (baik bidadari, berbagai macam buah, sungai, istana di surga, dsb), termasuk pula dalam hal ini adalah ingin melihat Allah di akhirat kelak. Jika seseorang tidak memiliki harapan untuk meraih surga dan takut akan neraka, maka semangatnya dalam beramalnya pun jadi lemah. Sebaliknya  jika seseorang dalam beramal selalu ingin mengharapkan ridha Allah sekaligus surga yang tertinggi dan takut akan siksa neraka dan laknat Allah, maka ia pun akan semakin semangat untuk beramal secara maksimal.

Dr. Tajuddin Pogo, Lc. MH

sumber : ikadi.or.id

Komentar