Pengabdian kepada Allah
Islam adalah agama amal dan kerja. Kerja untuk urusan Dunia dan Akhirat. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri Akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari Dunia.”(Al-Qashash: 77). Dalam ayat lain disebutkan: “Apabila telah selesai shalat, maka hendaklah kalian bertebaran di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan sebutlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian memperoleh keberuntungan.” (Al-Jumu’ah: 10). “Dan katakanlah: "bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu. (At Taubah:105). Dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw. bersabda: “Bekerjalah, karena setiap kalian dimudahkan untuk melakukan amal tertentu.”
Kualitas keyakinan kepada Allah SWT. yang terpatri dalam diri seorang muslim sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengaktualisasikan dalam kehidupan. Maka, selalu saja dalam Al-Quran kalimat amanuu (beriman) digandengkan dengan kalimat amiluu (bekerja) dengan bentuk derivatif kalimatnya. Secara tegas bahwa keberimanan seseorang harus parallel dengan aktualisasinya dalam kehidupan. Bekerja dalam ajaran Islam adalah manifestasi dari iman. Bekerja bagi Umat Islam adalah sebagai bagian dari ibadah. Sedang bagi umat yang lain, mungkin hanya sekedar mengisi waktu, mengejar kekayaan dan seterusnya.
Suatu hari Rasulullah Saw. berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. “Kenapa tanganmu?” tanya Rasul kepada Sa’ad. “Wahai Rasullullah,” jawab Sa’ad, “tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu beliau mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang yang tidak akan pernah tersentuh api Neraka”.
Alangkah mulianya ajaran Islam tentang etos kerja.. Dengan motivasi ibadah, bekerja semestinya selalu memberikan yang terbaik. Bekerja sebaik mungkin. Dengan ihsan dan itqan (cara yang paling baik). “maka berbuat baiklah sebagaimana Allah SWT. telah berbuat baik kepadamu” (Al Qashash: 77).
Ajaran etos kerja telah dicontohkan Rasulullah. Sejak masa remaja beliau adalah seorang pedagang yang ulet, berdagang jauh sampai ke Negeri Syam. Berkat kerja keras itu usaha dagang Rasulullah berkembang. Jauh sebelum beliau, para Nabi dan Rasul juga mengajarkan kita tentang etos kerja. Nabi Nuh pandai membuat Kapal, Nabi Musa seorang pengembala, Nabi Sulaiman seorang insiyur yang hebat, Nabi Yusuf seorang akuntan, Nabi Zakaria seorang tukang kayu, Nabi Isa seorang tabib yang mumpuni. Meski sebagai Nabi dan Rasul, mereka bekerja dan tetap menjaga etos kerja. Allah SWT. mampu untuk menjadikan mereka hidup tanpa sibuk bekerja keras mencari nafkah, dan mungkin itu bisa mengkondisikan mereka untuk fokus dan memiliki waktu dan tenaga lebih untuk melakukan dakwah. Jika Allah SWT. berkehendak demikian mungkin saja. Tetapi ceritanya berbeda. Dan kita bisa mengambil apa hikmah dari adanya kisah etos kerja mereka?
Memakmurkan Bumi
Allah SWT. telah melapangkan bumi dan menyediakan banyak fasilitas, agar manusia dapat berusaha mencari sebahagian dari rizki yang disediakan-Nya bagi kemaslahatan manusia dan makhluk secara umum. “Dialah (Allah) yang telah menjadikan bumi itu mudah bagi kalian, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rizki-Nya.” (Al-Mulk: 15). Dalam ayat lain: “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”. (Al-A’raf: 10).
Bersyukur kepada Allah SWT. atas fasilitas yang disediakan dengan cara memberdayakannya dengan berusaha dan bekerja untuk kebaikan Dunia dan Akhirat. Kerja dan usaha tentunya tidak terlepas dari peran memakmurkan bumi Allah SWT. Itulah peran manusia sebagai khalifah untuk memakmurkan bumi. Sehingga lahir berbagai kemaslahatan dan terhindar dari fasad (kerusakan). “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya. (Al-A’raf: 56).
Dampak yang dihasilkan dari kerja dan usaha berupa karya, baik yang bersifat fisik maupun non fisik harus memiliki orientasi kemaslahatan, bukan malah sebaliknya. Cukup naïf bila kita mendengar Negara-negara maju dan adidaya malah menjadi biang keladi berbagai fenomena kerusakan di Dunia. Penjajahan, pembodohan, perampasan dan penganiayaan dengan berbagai bentuk dan cara. Itu dalam skup makro hubungan antar Negara atau Peradaban. Terjadi juga dalam skup terkecil antar individu. Sikap individualis pragmatis, hanya mementingakan diri sendiri, yang penting untung masa bodoh dengan nasib orang lain menjadi sikap yang harus senantiasa dikikis dari mental masyarakat secara umum. Sikap masa bodoh terhadap sesama diancam Rasulullah Saw. dalam sabda beliau yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra.: “Tidak beriman kepadaku siapa yang bermalam hari dalam kondisi kenyang namun tetangga di sampingnya merasakan kelaparan, dan ia mengetahui (kondisi) tetangganya itu.” (HR. Ibnu Abi Syaibah). Demikian akibat sikap individualis dan masa bodoh terhadap sesama. Bagaimana dengan sikap menzalimi orang lain? Bagaimana bila usaha atau kerja malah menebar kerusakan?
Rasulullah Saw. dijuluki sebagai rahmatan lil alamin. Abu bakar Ashhiddiq disebut dalam hadits Rasul Saw. sebagai: “Dari Umatku yang paling sayang kepada Umatku (arhamu ummatii bi ummatii) adalah Abu Bakar”. Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah memperhatikan infrastruktur yang dibangun demi kemaslahatan rakyat, bahkan binatang sekalipun. “Jika ada keledai terperosok di Irak maka Umar akan dimintai pertanggungjawaban” begitu ucap Umar ra. Beliau juga pernah memerintah aparatnya untuk menebar gandum di bukit-bukit, agar tidak ada burung yang kelaparan di negeri Muslim.
Adab Bekerja
Bekerja dengan motivasi di atas bisa melahirkan kerja keras, tegar, jujur dan profesional. Adapun kerja yang didasari hanya dengan motivasi jabatan dan kekayaan menjadikan seseorang bekerja ketika ada iming-iming atau konsekuensi jabatan dan kekayaan, jika tidak ada, ia akan enggan atau bermalas-malasan. Tetapi motivasi ibadah dalam bekerja bisa melahirkan karya dan produktivitas meski tidak dalam pengawasan manusia, meski jauh dari kontrol atasan.
Bekerja untuk pengabdian dan agar menggapai ridha Allah perlu memperharikan adab-adab sebaga berikut:
a. Menghadirkan niat yang baik. Niat ibadah karena Allah, niat mencari rizki yang halal, niat memakmurkan bumi Allah dan niat baik lainnya. Dengan niat ini amal kebiasaan atau rutin seseorang bisa bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Pada satu pagi Rasul Saw. Dan para Sahabat sedang berkumpul kemudian mereka melihat seseorang yang kuat berjalan dengan cepat dan enerjik menuju kerja. Para Sahabat takjub terhadap orang tersebut. Maka para Sahabat berkata: Wahai Rasul Saw. bila saja ia berada dalam jalan Allah (fi Sabilillah) -pasti lebih baik baginya-. Maka Rasul Saw. berkata: “Jika ia bekerja untuk anaknya yang masih kecil, maka itu berarti fi Sabilillah. Jika ia bekerja untuk kedua orangtuanya yang renta maka itu berarti fi Sabilillah. Dan jika ia bekerja karena riya dan kebanggaan maka itu di jalan Setan”. (HR. Atabrani).
b. Tidak menunda-nunda amal. Dalam kaitan ini Rasulullah Saw. mendorong Umatnya nutuk berpagi-bagi,haditsnya berbunyi: Ya Allah berkahilah Umatku di pagi hari. (HR. Tirmidzi, Ibnu majah dan Ahmad). Dalam pepatah Arab disebutkan: “jangan tunda amal hari ini hingga esok.”
c. Bersungguh-sungguh. Pepatah mengatakan: Siapa yang bersungguh-sungguh dia akan dapat”.
d. Bekerja dengan rapi. Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT. mencintai seseorang yang bekerja dengan rapi di antara kalian”. (HR. Baihaqi).
e. Tawadhu (Rendah hati) dan syukur. Sebagus apapun pekerjaannya, seorang Muslim dilarang untuk bersikap sombong. Rasul Saw. bersabda: Tidak masuk Surga siapa yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi. (HR. Muslim).
f. Tidak melupakan kewajiban ibadah kepada Allah SWT. Meskipun bekerja bisa menjadi sarana penghambaan diri kepada Allah SWT., ia tidak sepatutnya melenakan manusia dari menunaikan kewajiban-kewajiban ibadah kepada Allah SWT.
g. Meninggalkan hal-hal yang dilarang agama. Agar pekerjaan bisa bernilai ibadah dan diterima di sisi Allah SWT. perlu ada minimal dua syarat; pertama, niat karena Allah SWT. dan kedua, tidak bertentangan dengan aturan syariat.
Bekerja dengan motivasi, cara dan orientasi yang mulia menjadi perkara yang sangat mulia di sisi Allah SWT. Amal yang menjadikan manusia sebagai wakil Allah SWT. dalam memakmurkan bumiNya. Bekerja dengan model seperti ini tidak menjadikan rentang waktu panjang yang habis, tenaga dan pikiran yang terkuras menjadi sia-sia. Sebaliknya, sangat disayangkan siapa yang waktu, tenaga dan pikirannya banyak tercurah dalam bekerja, namun tidak menjadi sesuatu yang mulia berupa ibadah dan manfaat kelak bagi kehidupan masa depannya, utamanya di Akhirat sana. Wallahu a’lam.
Sumber : Ikadi.or.id
Komentar
Posting Komentar